Kamis, 11 November 2010

Pak Harto di Langit Kepemimpinannya

BAB I
PENDAHULUAN
Kepemimpinan dalam prespektif Islam pada hakikatnya merupakan suatu amanah. Dalam salah satu hadis Nabi disebutkan bahwa, “Setiap Kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” Karena itu, kepemimpinan menjadi unsur yang sangat strategis dalam kehidupan suatu jamaah atau masyarakat.
Kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara luas oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara.
Pemimpin ini menjadi panutan sebab warga masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang pemimpin, dan ia dianggap sebagi “penyambung lidah” masyarakat.
Akan tetapi, peimpin saja mungkin tidak menjamin bagi terbentuknya suatu bangsa-negara sebab pengaruh pemimpin bersifat sementara. Dalam hal ini ada dua penyebab. Pertama, umur manusia (pemimpin) terbatas, dan khususnya pemimpin kharismatik tidak dapat diwariskan. Pemimpin tidak hanya yang masih hidup dapat berfungsi sebagai simbol persatuan bangsa, tetapi juga yang sudah menjadi pahlawan. Kedua, tipe kepemimpinan berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat yang berubah menghendaki tipe pemimpin yang berubah pula. Pada pihak lain tidak hanya pemimpin kharismatik dipandang sebagai simbol persatuan bangsa, tetapi juga di negara-negara yang maju seorang pemimpin diharapkan tampil sebagai “wakil” atau personifikasi bangsa di dalam maupun di luar negeri.[1]
Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama kehidupan Soeharto. Setelah tiga decade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa, kini Soeharto paling terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara Republik Indonesia, Pak Harto menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja dari semua warga Republik ini, tetapi oleh para pakar dan pemerhati politik dari manca negara.
Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak memunculkan kontroversi. Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai “Bapak Pembangunan” dan lainnya namun banyak juga yang mengutuk dengan “Gantung Soeharto”. Bahkan ketika beliau sakit sampai akhirnya meninggal pada tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi bahan perbincangan yang menimbulkan banyak kotroversi. Hal itu menyangkut kelanjutan kasus korupsi yang di dakwakan kepada almarhum, dan kasus lai selama menjabat sebagai presiden.
Kehidupan Pak Harto sebagai seorang pemimpin bangsa memang menarik untuk dikaji. Meskipun banyak sisi negatif yang telah melekat pada beliau, namun banyak pula pelajaran berharga yang dapat kita jadikan bekal untuk memimpin. Untuk itulah, melalui makalah ini penulis mencoba menyampaikan secuil kepemimpinan Pak Harto, dengan harapan bisa mengambil pelajaran tentang kepemimpinan beliau.

Presiden Indonesia ke-2
Masa jabatan : 12 Maret 1967 – 21 Mei 1998
Wakil : -Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973)
-Adam Malik (1978)
-Umar Wirahadikusumah (1983)
-Sudharmono (1988)
-Try Sutrisno (1993)
-B.J. Habibie (1998)

Pendahulu : Soekarno
Pengganti : B.J. Habibie
Lahir : 8 Juni 1921,Kemusuk, DI Yogyakarta
Meninggal : 27 Januari 2008 (umur 86),Jakarta, Indonesia
Partai politik : Golkar
Pasangan : Siti Hartinah (almh.)
Agama : Islam


BIOGRAFI SINGKAT H.M. SOEHARTO


Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 – Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno. Setelah dirawat selama sekitar 24 hari di rumah sakit, ia meninggal akibat kegagalan multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul 13.10 WIB. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk menyapanya.
Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).[2]




BAB II

A. KEPERIBADIAN SOEHARTO
Kepribadian Soeharto dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal itu dapat dilihat dari latar belakang beliau, yakni sebagai seorang muslim, sebagai seorang keturunan jawa, dan sebagai anggota militer. Ketiga latar belakang Soeharto tersebut, secara langsung ataupun tidak telah membentuk pribadi seorang Soeharto. Kepribadian tersebut yang kemudian juga berpengaruh pada setiap kebijakannya.
Ketiga faktor tersebut yang akan menjadi fokus dalam pembahasan kali ini. Ketiganya akan terlihat dalam sifat, perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan Soeharto.
1. Soeharto Sebagai Keturunan Jawa
Konsep Jawa dapat terlihat penerapannya pada Kerajaan-kerajaan Jawa. Kerajaan jawa merupakan tempat yang sangat kental unsur-unsur kejawen. Pola kehidupan raja, keluarganya, pejabat pemerintah diatur oleh tradisi-tradisi Jawa.
Salah satu kerajaan Jawa yang terkenal adalah Kerajaan Mataram. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dinasti Mataram adalah dinasti yang muncul dari keluarga petani. Karena itu untuk dapat diterima rakyat banyak dinasti atau para raja dari dinasti ini terus berusaha memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih.[3] Sopan santun, tutur katanya lemah lembut, sumeh (murah senyum), tak pernah marah, ramah, dll, merupakan sifat-sifat yang melekat pada diri soeharto. Kesemuanya itu tak lepas dari usaha soeharto untuk menarik simpati rakyat demi menunjukkan keunggulan moralnya.
Dalam sejarahnya, dinasti Mataram selalu merasa dirinya terancam oleh pusat-pusat kekuasaan lain. Oleh karena itu dinasti Mataram selalu terlibat dalam usaha-usaha untuk terus mengukuhkan diri. Di samping itu dinasti Mataram memandang kekuasaan itu sebagai suatu keunggulan, yang utuh dan bulat. Artinya kekuasaan itu tidak boleh bersaing, tidak terkotak-kotak atau terbagi-bagi, dan menyeluruh (tidak hanya mengenai bidang-bidang tertentu). Kekuasaan raja seperti kekuasaan dewa, yang agung dan binatara. Karena itu raja-raja mataram itu sering menggambarkan diri sebagai raja yang agung dan binathara, baudhendha nyakrawati (agung laksana dewa, pemelihara hukum, pemegang kekuasaan).[4] Hal itu juga dilakukan semasa kekuasaan soeharto. Dimana ia mampu memimpin selama 30 tahun tanpa ada yang mampu menurunkannya dari kursi presiden.
Dalam kedudukan sebagai penguasa negara memang raja berhak mengambil tindakan apa saja dengan cara bagaimana saja terhadapkerajaannya, segala isi yang ada didalamnya, termasuk hidup manusia. Karena itu kalau raja menginginkan sesuatu, dengan mudah ia akan memerintahkan untuk mengambilnya. Kalau yang merasa berhak atas sesuatu itu mempertahankannya, diperangilah dia. Sebaliknya kalau ada orang yang dipandangn tidak pantas berada dalam kedudukannya, dengan mudah saja raja mengambil kedudukannya, dengan membunuhnya bila perlu. [5] Beberapa kasus pembantaian masal (malari, tanjung priyok), menjadi bukti bahwa soeharto juga mengikuti konsep tersebut. Selama berkuasa soeharto tidak memberi kesempatan kepada lawan-lawannya untuk mengusik kursinya.
Sebagai orang asli keturunan Jawa, maka Soeharto banyak menerapkan konsep-konsep Jawa dalam kehidupannya sebagai seorang presiden. Sehingga tak salah jika M.H. Ainun Najib (Cak Nun) mengatakan bahwa sistem yang dibangun soeharto adalah sistem kerajaan bukan republik.

2. Soeharto Sebagai Seorang Muslim.
Presiden Soeharto memulai hari kerjanya di waktu ia bangun pada kira-kira pukul 05.00. Sesudah mandi dan ke belakang sebagaimana yang dilakukannya setiap pagi, iapun mengerjakan sholat susbuh. Selesai sholat subuh, iapun minum secangkir kopi di kamar kerjanya yang kecil di rumah keluarga Soeharto, jalan Cendana No 8, Menteng Jakarta.[6] Dari cerita tersebut, dapat dikatakan bahwa Soeharto termasuk muslim yang taat kepada Allah SWT.
Sebagai seorang muslim AM Fatwa mempunyai analisis lain tentang diri Soeharto. Fatwa menujuk salah satu momentum penting dalam perjalanan hidup Soeharto, ibadah haji tahun 1991. Ibadah haji bukanlah peristiwa biasa. Betapa pun, soeharto adalah seorang Kepala Negara Muslim. Fatwa mengatakan bahwa, “Perubahan yang terjadi pada sosok Soeharto itu sunnatullah. Usia dan pengalaman-pengalamannya kan membawa kepada kearifan,” katanya.[7]
Selain itu, Ketua Umum Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Chalid Mawardi, mengusulkan agar Soeharto diakui sebagai Pemimpin Tertinggi Umat Islam Indonesia (Amirul Muslimin al Indonesiy). Menurut politisi NU ini, soeharto telah banyak melakukan terobosan-terobosan yang menguntungkan umat Islam. Chalid yakin bahwa soeharto benar-benar memperjuangkan Islam “dari posisinya sebagai Presiden Republik Indonesia’. Apa yang telah dilakukan soeharto dengan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang telah membangun lebih dari 700 masjid, dan Yayasan Dharmis, yang telah membiayai pengiriman ribuan da’I ke daerah-daerah transmigran, serta berbagai kebijakan positif terhadap umat Islam Indonesia, bukanlah hal yang kecil.[8]

3. Soeharto Sebagai Seorang Anggota Militer.
Kesempatan yang dinanti-nanti Soeharto begitu lama, akhirnya datang juga ketika pengantar surat menyerahkan sepucuk surat resmi yang isinya singkat sekali. Soeharto harus segera melapor untuk dinas militer. Anak muda itu, dengan badan yang tegap dan cerdas, dengan mudah diterima masuk Sekolah Militer di Gombong, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Juni 1940.[9] Perjalanan militer inilah yang kemudian membuat Soeharto menjadi orang yang terkenal.
Dari Kepala Staf Divisi Diponegoro, Soeharto naik dalam beberapa bulan menjadi Panglima Divisi. Pada tanggal 1 Januari 1957, dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel (Infanteri). Di waktu itu catatan ringkas mengenai dirinya adalah: umur 35 tahun; sudah lebih 16 tahun dinas militer; berpengalaman sebagai Komandan di waktu perang dan damai. Latar belakang militer ini, kemudian membentuk sifat-sifatnya yang utama: pemberani, berdisiplin, berhati-hati dan dapat dipercaya.[10]
Sifat lain yang muncul ketika ia di militer ialah Soeharto sangat sadar akan masalah-masalah yang dihadapi oleh prajurit-prajuritnya, baik di waktu dinas maupun di luar dinas. Ia menumpahkan perhatiaannya kepada kesejahteraan anak buahnya.menurut doktrin militer Indonesia, mengingat kehidupan rakyat banyak yang masih melarat, termasuk tentara, panglima Divisi diponegoro menekankan perlunya dibangun kegiatan kooperasi Angakatn Darat.[11]
Selain itu Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.

B. KONSEP DIRI SOEHARTO SEBAGAI SEORANG PRESIDEN.
Konsep diri atau peran Soeharto sebagai seorang presiden telah dibangun puluhan tahun, dikonfirmasikan kabinet-kabinetnya, TNI (dulu ABRI), MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya, media massa (termasuk buku-buku yang menyanjung dan menjilatnya, seperti Manajemen Presiden Soeharto), dan seluruh rakyatnya. Untuk memperkukuh peran sosialnya, Soeharto menggunakan mistifikasi. Berbagai upacara resmi, formalitas, dan gelar yang impresif (misalnya “Bapak Pembangunan”) yang digunakan untuk menciptakan kharismanya. Salah satu tehnik mistifikasi Soeharto adalah menjaga jarak sosial dengan khalayak. Selama puluhan tahun di dalam negeri ia hampir tidak pernah bersedia diwawancarai oleh wartawan, baik media cetak ataupun elektronik. Saat berlangsung dialog dengan rakyat kecil di daerah, yang biasanya disiarkan TVRI dalam “Laporan Khusus” sesudah “Dunia Dalam Berita” pukul 21.00, dialog itu tampak kaku dan artifisial, karena berdasarkan skenario yang telah disusun. Dengan membatasi kontak sosial itu, Soeharto berusaha menciptakan kekaguman atau keterpesonaan khalayak kepada dirinya. Sikap Soeharto yang sedikit rendah hati boleh jadi membuat khalayak terkesima untuk melihat presiden lebih dekat.[12]
Konsep diri itulah yang menjadi salah satu faktor Soeharto mampu berkuasa selama tiga dekade. Selain itu mungkin banyak faktor lain yang sering menimbulkan kontroversi dalam setiap pembahasannya.

C. MODEL KEPEMIMPINAN SOEHARTO
Ada beberapa model-model atau pola-pola kepemimpinan, yaitu pemimpin agama, pemimpin politik, pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan, dan pemimpin perusahaan.
Salah satu tipe aktor politik yang memiliki pengaruh dalam proses politik, adalah pemimpin poitik dan pemerintahan. Dalam masyarakat terdapat stratifikasi dari segi kekuasaan yang dimiliki: yang memiliki kekuasaaan disebut elit (pemimpin), dan yang tidak memiliki kekuasaan, dan karena itu mematuhi pemilik kekuasaan disebut massa rakyat.[13] Dengan demikian Pak Harto termasuk pemimpin politik yang sekaligus memiliki kekuasaan atau elit. Hal itu didukung oleh nilai-nilai yang melekat pada diri Pak Harto, seperti prestise, kekayaan ataupun kewenangan. Sebagai pemimpin politik, maka Model kepemimpinan Pak Harto bisa dilihat sebagai berikut,

1. Dilihat Dari Motif Pencarian Kekuasaan.
Model kepemimpinan Soeharto dilihat dari motif mencari kekuasaan bisa dikatakan bermotif kompensasi. Ada enam perilaku yang dianggap sebagai indikator kepribadian dari pencari kekuasaan demi kompensasi. Keenam perilaku tersebut adalah:
a. Ketidaksediaan mengizinkan orang lain mengambil bagian dalam bidang kekuasaannya.
b. Ketidaksediaan menerima nasihat mengenai fungsi yang seharusnya dalam bidang kekuasaannya.
c. Ketidaksediaan mendelegasikan kewajiban kepada pihak lain, kewajiban yang menjadi bagian utuh dari bidang kekuasaannya.
d. Ketidaksediaan berkonsultasi dengan orang lain yang menyatakan diri memiliki kekuasaan, mengenai peranan dalam bidang kekuasaannya.
e. Ketidaksediaan memberikan informasi kepada orang lain mengenai peranan dalam bidang kekuasaannya.
f. Keinginan untuk membentuk dan mengenakan sistem yang tertata kepada orang lain dalam arena politik.[14]
Keenam perilaku tersebut ada pada kepemimpinan Pak Harto. Perilaku pertama misalnya dibuktikan dengan kepemimpinan Pak Harto yang bertahan 30 tahun sebagai Presiden. Selain itu kebebasan press yang terkungkung selama rezim Orde baru berkuasa, yang mengakibatkan proses penyebaran informasi menjadi tidak sehat merupakan indikator perilaku ke-lima.

2. Dilihat Dari Distribusi Kekuasaan
Menurut Andrian distribusi kekuasaan terbagi dalam tiga model, yakni
a. Model elit yang memerintah, melukiskan kekuasaan sebagai dimiliki oleh kelompok kecil orang yang disebut elit
b. Model pluralis, menggambarkan kekuasaan sebagai dimiliki dengan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan berbagai lembaga pemerintahan.
c. Model populis, melukiskan kekuasaan sebagai dipegang oleh setiap individu warga negara atau rakyat secara kolektif.[15]
Model pluralis mungkin bisa dikatakan cocok untuk menggambarkan distribusi kekuasaan selama kepemimpinan Soeharto. Dimana kita meliahat di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dalam 3 lembaga yakni, Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Namun menurut penulis, kepemimpinan Soeharto lebih cocok dikategorikan ke dalam model elit. Hal itu karena pada masa Orde Baru kekuasaan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Tidak ada kesempatan bagi mereka yang ingin berkuasa. Kalaupun ada itu tidak bertahan lama. Kekuasaan Pak Harto selama 30 tahun yang tak tergoyahkan, menjadi bukti hal itu.

3. Dilihat Dari Hubungan Antara Pemimpin Dan Yang Dipimpin.
Menurut Burns, ada dua tipe kepmimpinan berdasarkan hubungan antara yang memipin dan yang dipimpin, yaitu
a. Kepemimpinan Transaksional
Terjadi manakala seorang pemimpin mengambil prakarsa dalam melakukan kontak dengan pihak lain untuk tujuan pertukaran nilai-nilai yang dianggap penting. Yang dipertukarkan itu mencakup bidang politik seperti suara (votes) dan kekuasaan, ekonomi, seperti uang dan kekayaan lain, dan psikologi seperti kesediaan mendengar keluhan orang lain. Kepemimpinan seperti ini tidak menunjukkan kesamaan tujuan antara pemimpin dan yang dipimpin.
b. Kepemimpinan Transformatif
Terjadi manakala seorang atau lebih terlibat dengan orang lain sedemikian rupa sehingga mengangkat pemimpin dan yang dipimpin ke tingkat moral, motivasi, dan kegiatan yang lebih tinggi. Tujuan mereka yang tadinya berpisah menjadi satu.[16]
Melihat kedua tipe di atas, maka kepemimpinan Soeharto cenderung kepada tipe kepemimpinan transaksional. Hal itu terlihat dari adanya sentralisir kekuasaan selama rezim Orde baru. Dimana Pak Harto berkuasa dalam setiap struktur pemerintahan. . Lebih jelas lagi kita lihat bagaimana semua pegawai negeri sipil harus memilih Golkar sebagai partai. Sehingga hubungan yang terjadi antara pemimpin dan rakyat seperti hubungan penjual yang memaksakan barang daganannya. Bahkan lebih ngeri lagi, karena selama orde baru mereka yang menolak memilih Golkar maka akan mendapat murka penguasa.



BAB III
PENUTUP
A. PENINGGALAN SOEHARTO
1. Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka. Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.

2. Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.

3. Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Tiga hal di atas hanyalah sedikit dari peninggalan Soeharto bagi Indonesia. Meskipun banyak juga peninggalan lain yang patut di puji, namun banyak pula peninggalan yang menyesengsarakan rakaya berupa hutang luar negeri dan sebagainya.[17]

B. WAFATNYA SOEHARTO
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1).[18]
Cak Nun memberikan analisis tentang Astana Giri Bangun. Dalam sebuah talk show di salah satu televisi swasta, cak Nun menyampaikan bahwa ide untuk membuat area pemakaman keluarga dengan arsitektur sedemikian rupa, tak akan pernah lahir selain dari orang-orang yang mempunyai pemikiran tentang konsep seorang raja, khususnya raja jawa. Hal ini membuktikan bahwa faktor keturunannya sebagai seorang jawa, salah satunya direalisasikan ketika ia kembali kepada Allah SWT.




DAFTAR PUSTAKA

ü Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gasindo, Cet 7, 2007.
ü Roeder, O.G., Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Jakarta: Gunung Agung, Cet.5, 1984.
ü Mujianto, G, konsep Kekuasaan Jawa penerapannya oleh Raja-raja Jawa, Yogyakarta: Kanisius, Cet.7, 2002.
ü Husaini, Adian, Soeharto 1988, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
ü Mulyana, Deddy, Prof. Dr., Komunikasi Populer kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
ü http//id.wikipedia.org/wiki/Soeharto#column-one, Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia

[1] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gasindo, Cet 7, 2007. hlm: 45
[2] Diakses dari http//id.wikipedia.org/wiki/Soeharto#column-one, Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia

[3] Drs. G. Moedjanto, M.A, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, Cet.7, 2002, hlm: 26
[4] Ibid, hlm: 28
[5] Drs. G. Moedjanto, M.A, Op Cit, hlm: 78
[6] O.G Roeder, Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Jakarta:Gunung Agung, Cet.V, 1984, hlm:263.
[7] Adian Husaini, Soeharto 1988, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. hlm:35
[8] Adian Husaini, Op Cit, hlm:36
[9] O.G Roeder, Op Cit, hlm:170
[10] Ibid, hlm:216
[11] Ibid, hlm:217
[12] Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A, Komunikasi Populer Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004
[13] Adian Husaini, Soeharto 1988, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. hlm:133

[14] Ramlan Surbakti, Op Cit. hlm: 139
[15] Ibid. hlm: 74
[16]
[17] Diakses dari http//id.wikipedia.org/wiki/Soeharto#column-one, Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia


[18] Diakses dari http//id.wikipedia.org/wiki/Soeharto#column-one, Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia
sumber:http://maschoirudin.blogspot.com/2010/01/kepemimpinan-soeharto.html